BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat
penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik
kedokteran atau kedokteran gigi (Kemenkes RI, 2010).
Institusi penyedia pelayanan kesehatan dapat dibedakan
berdasarkan tingkatan pelayanan yang tersedia yaitu pelayanan strata I (primary health care services) yang
menyediakan pelayanan kesehatan dasar contohnya puskesmas, dokter atau bidan
praktek swasta, balai pengobatan swasta, dan lain sebagainya. Dan pelayanan
kesehatan strata II (secondary health
care services) menyediakan pelayanan spesialis terbatas, serta pelayanan
kesehatan strata III (tertiary health care
services) menyediakan pelayanan spesialis lengkap ( Muninjaya, 2011)
Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan
medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis
tenaga kesehatan dan di pimpin oleh seorang tenaga medis (Kemenkes RI, 2012).
Menurut Feste (1989), dalam Azwar (1996), bentuk
pelayanan rawat jalan dibedakan atas dua macam:
1.
Pelayanan rawat jalan oleh klinik Rumah
Sakit, adalah yang diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan Rumah
Sakit yang secara umum dapat dibedakan atas empat macam :
a.
Pelayanan gawat
darurat, yakni untuk menangani pasien yang membutuhkan pertolongan segera dan
mendadak.
b.
Pelayanan rawat jalan paripurna yakni
yang memberikan pelayanan kesehatan paripurna sesuai dengan kebutuhan pasien.
c.
Pelayanan rujukan yakni yang hanya
melayani pasien-pasien yang dirujuk oleh sarana kesehatan lain.
d.
Pelayanan bedah jalan yakni yang
memberikan pelayanan bedah yang dipulangkan pada hari yang sama.
2.
Pelayanan rawat jalan oleh klinik
mandiri, adalah yang diselenggarakan oleh klinik mandiri yang tidak ada
hubungan organisatoris dengan Rumah Sakit, yang secara umum dapat dibedakan
atas dua macam :
a.
Klinik mandiri sederhana, yang populer
adalah praktek dokter umum dan atau praktek doter spesialis secara perorangan.
b.
Klinik mandiri institusi, bentuknya
bermacam-macam. Mulai dari praktek berkelompok, poliklinik, BKIA (Balai
Kesehatan Ibu dan Anak), Puskesmas.
Pelayanan rawat jalan (ambulatory services) adalah salah satu bentuk dari pelayanan
kesehatan. Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah
pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat
inap, tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit atau klinik tetapi juga yang diselenggarakan di rumah pasien serta
di rumah perawatan (nursing homes),
(Feste (1989), dalam Azwar, 1996)
Rawat jalan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat umum yang dilaksanakan pada
pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk keperluan observasi,
diagnosis, pengobatan dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. Sedangkan rawat jalan tingkat lanjutan adalah
pelayanan kesehatan perseorangan yang bersifat spesialistik atau
subspesialistik dan dilaksanakan pada pemberi pemberi pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan sebagai rujukan dari pemberi pelayanan kesehatan tingkat
pertama untuk keperluan observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis
dan atau pelayanan medis lainnya termasuk konsultasi psikologi tanpa menginap di
ruang perawatan (Kemenkes RI, 2012).
2.2.
Standar Pelayanan Kesehatan
Menurut Koentjoro, 2011, Standar adalah ukuran yang
ditetapkan dan disepakati bersama, merupakan tingkat kinerja yang diharapkan. Standar
dalam pelayanan kesehatan akan memberikan manfaat antara lain mengurangi
variasi proses, merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu.
Terdapat 3 jenis standar yang kita kenal, yakni:
1. Standar struktur, yaitu sumber daya manusia,
uang, material, peralatan, dan mesin.
2.
Standar proses, yakni tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan.
3. Standar hasil, yakni hasil-hasil yang
diharapkan
Standar pelayanan kesehatan harus memenuhi 10
karakteristik standar, yaitu valid, menunjukkan efektifitas biaya, dapat
dikembangkan (reproducible),
reliabel, representatif, dapat diterapkan
(applicable),
fleksibel,
jelas, didokumentasikan dengan
baik, dan dikaji ulang secara berkala.
Menurut Mubarak dan Chayatin, 2009, suatu pelayanan
kesehatan dikatakan baik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Tersedia (available) dan berkesinambungan (continous). Artinya dan semua jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam
masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2.
Dapat diterima (acceptable)
dan bersifat wajar (appropriate). Artinya
pelayanan
kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan
masyarakat.
3.
Mudah dicapai (accesible). Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut
lokasi. Untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan
distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.
4.
Mudah dijangkau (affordable). Keterjangkauanyang dimaksud adalah dari sudut biaya.
Harus diupayakan biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat.
5.
Bermutu (quality). Mutu yang dimaksud disini adalah merujuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah
ditetapkan.
2.3.
Kualitas
Pelayanan Kesehatan
Kualitas jasa merupakan bagian penting
yang perlu mendapat perhatiandari
organisasi penyedia jasa pelayanan kesehatan seperti RS dan Puskesmas.
Pengemasan kualitas jasa yang akan diproduksi harus menjadi salah satu strategi
pemasaran RS atau Puskesmas yang menjual jasa pelayanan kepada pengguna jasanya
(pasien dan keluarganya), (Muninjaya,2004).
Kualitas atau mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan
pasar atau konsumen. Suatu produk dikatakan bermutu apabila dapat memberikan
kepuasan, sesuai dengan yang diharapkan konsumen (Mubarak dan Chayatin, 2009).
Mutu pelayanan kesehatan menurut Kemenkes RI adalah meliputi
kinerja yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja
yang dapat menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata
penduduk tetapi juga sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah
ditetapkan (Muninjaya,
2011)
Berikut beberapa definisi mutu pelayanan kesehatan:
1.
Mutu pelayanan kesehatan adalah
pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta
penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi (Azrul Azwar,
1996).
2.
Memenuhi dan melebihi kebutuhan serta
harapan pelanggan melalui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses.
Pelanggan meliputi pasien, keluarga, dan lainnya yang datang untuk mendapatkan pelayanan
dokter;karyawan (Mary R. Zimmerman) (Satrianegara dan Saleha, 2012).
2.4.
Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Kualitas pelayanan kesehatan akan sangat ditentukan
apabila kebutuhan atau ekspektasi para pengguna jasa bisa terpenuhi dan
diterima tepat waktu. Faktor yang digunakan konsumen untuk mengukur kualitas
jasa adalah outcome, proses, dan image dari jasa tersebut. Menurut
Gronroos dalam Muninjaya, 2011, ketiga kriteria
tersebut dijabarkan menjadi 6 unsur :
1. Profesional and skills
Di bidang
pelayanan kesehatan, kriteria ini berhubungan dengan outcome, yaitu tingkat kesembuhan pasien. Pelanggan menyadari bahwa
jasa pelayanan kesehatan dihasilkan oleh SDM yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang berbeda. Dokter dan petugas kesehatan menjadi faktor produksi
utama yang akan menentukan hasil (outcome)
pelayanan kesehatan, termasuk yang akan menjamin tingkat kepuasan para
penggunanya.
2. Attitudes and behaviour
Kriteria sikap
dan prilaku staf akan berhubungan dengan proses pelayanan.
Pelanggan
institusi jasa pelayanan kesehatan akan merasakan kalau dokter dan para medis
rumah sakit sudah melayani mereka dengan baik sesuai SOP pelayanan. Situasi ini
ditunjukkan oleh sikap dan prilaku positif staf yang akan membantu para
pengguna pelayanan kesehatan mengatasi keluhan sakitnya.
3. Accessibility and flexibility
Kriteria
penilaian ini berhubungan dengan proses pelayanan. Pengguna jasa pelayanan akan
merasakan bahwa institusi penyedia pelayananjasa, lokasi, jam kerja, dan
sistemnya dirancang dengan baik untuk memudahkan para pengguna mengakses
pelayanan sesuai dengan kondisi pengguna jasa (fleksibilitas), yaitu
disesuaikan dengan keadaan sakit pasien, jarak yang harus ditempuh, tarif pelayanan, dan kemampuan ekonomi pasien atau
keluarga untuk
membayar tarif pelayanan.
4. Reliability and trustworthiness
Kriteria
penilaian ini juga berhubungan dengan proses pelayanan. Pengguna jasa pelayanan
kesehatan bukan tidak memahami resiko yang mereka hadapi jika memilih jasa
pelayanan yang ditawarkan oleh dokter. Misalnya, operasi caesar pada sebuah
persalinan. Pasien dan keluarganya sudah mempercayai sepenuhnya dokter yang
akan melakukan tindakan operasi tersebut karena pengalaman dan reputasinya.
Untuk itu, operasi caesar yang ditawarkan oleh dokter kepada ibu bersalin dan
suaminya tetap dapat diterima meskipun pasien dan suaminya mengetahui resiko
yang akan dihadapi.
5. Recovery
Kriteria
penilaian ini juga berhubungan dengan proses pelayanan. Pelanggan memang
menyadari kalau ada kesalahan atau resiko akibat tindakan medis yang diambil,
tetapi para pengguna jasa pelayanan mempercayai bahwa institusi penyedia jasa
pelayanan sudah melakukan perbaikan (recovery)
terhadap mutu pelayanan yang ditawarkan kepada publik untuk mengurangi resiko
medis yang akan diterima pasien.
6. Reputation and credibility
Kriteria ini
berhubungan dengan image. Pelanggan akan meyakini benar bahwa institusi
penyedia jasa pelayanan kesehatan memang memiliki reputasi baik, dapat
dipercaya, dan punya nilai (rating) tinggi di bidang pelayanan kesehatan. Keparcayaan
ini sudah terbukti dan reputasi
pelayanan yang sudah ditunjukkan selama ini oleh institusi penyedia jasa
pelayanan kesehatan ini.
Menurut Sviokla dalam Lupiyoadi, 2013, selain dari
segi biaya, kualitas memiliki delapan dimensi pengukuran yang terdiri atas
aspek-aspek berikut:
1.
Kinerja (performance). Kinerja disini merujuk pada karakter produk inti yang
meliputi merk, atribut-atribut yang dapat diukur, dan aspek-aspek kinerja
individu.
2.
Keistimewaan produk (features). Dapat berbentuk produk
tambahandari suatu produk intiyang dapat menambah nilai suatu produk.
3.
Reliabilitas/ keterandalan (reliability). Dimensi ini berkaitan
dengan timbulnya kemungkinan suatu produk mengalami keadaan tidak berfungsi (malfunction) pada suatu periode
4.
Kesesuaian (conformance).
Dimensi lain yang berhubungan dengan
kualitas suatu barang adalah kesesuaian pruduk dengan
standar
dalam
industrinya.
5.
Ketahanan (durability). Ukuran ketahanan (atau daya tahan) suatu produk
meliputi segi ekonomis sampai dengan segi teknis.
6.
Kemampuan pelayanan (serviceability). Kemampuan pelayanan bisa
juga disebut dengan kecepatan, kompetensi, kegunaan, dan kemudahan
produk untuk diperbaiki.
7.
Estetika (aesthetics). Estetika merupakan dimensi pengukuran yang paling
subjektif. Estetika suatu produk dilihat dari bagaimana suatu produk terdengar
oleh konsumen, baik itu bagaimana penampilan luar suatu produk, rasa, maupun
bau.
8.
Kualitas yang dirasakan (perseived quality). Konsumen tidak
selalu memiliki informasi yang lengkap mengenai atribut-atribut produk (jasa).
Namun, konsumen umumnya memiliki informasi tentang produk secara tidak
langsung, misalnya melalui merk, nama, dan negara produsen.
Sedangkan Parasuraman, Zeithami dan Berry (dalam
Muninjaya,2011dan Lupiyoadi, 2013) menganalisis dimensi kualitas jasa berdasarkan lima aspek komponen mutu.
Kelima komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama ServQual. Kelima dimensi mutu menurut
Pasuraman dkk, meliputi :
1.
Responsiveness
(ketanggapan)
Dimensi ini
dimasukkan kedalam kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dan
kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pelanggan.
2. Reliability
(keandalan)
Kemampuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang
ditawarkan (seperti dalam brosur). Kinerja harus sesuai dengan harapan
pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.
3. Assurance
(jaminan)
Kriteria ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan sifat
petugas yang
dapat dipercaya oleh pelanggan. Pemenuhan terhadap kriteria pelayanan ini akan
mengakibatkan pengguna jasa merasa terbebas dari resiko. Berdasarkan riset,
dimensi ini meliputi faktor keramahan, kompetensi, kredibilitas dan keamanan.
4. Empathy
(empati)
Yaitu memberikan
perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada
para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan mereka. Kriteria ini terkait
dengan rasa kepedulian dan perhatian khusus
staf kepada setiap pengguna jasa, memahami kebutuhan mereka dan
memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pengguna jasa ingin
memperoleh bantuannya.
5. Tangible
(berwujud)
Yaitu kemampuan
suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak external.
Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat
diandalkan keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti nyata dari pelayanan
yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik (contohnya :
gedung, gudang, dan lain-lain), perlengkapan dan peralatan yang digunakan
(teknologi), serta penampilan pegawainya.
2.5.
Minat
Kunjungan Ulang
Menurut
Notoatmodjo (2010), Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit,
dan tidak merasakan sakit sudah barang tentu tidak akan bertindak apa-apa
terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga
merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam prilaku dan usaha. Respon
seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut:
1.
Tidak bertindak atau tidak melakukan
kegiatan apa-apa. Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak akan
mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Alasan lain adalah fasilitas
kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik,
judes, tidak responsif, dan sebagainya.
2.
Tindakan mengobati sendiri, dengan
alasan yang sama seperti yang telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan
ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya kepada diri
sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha
pengobatan sendiri sudah mendatangkan kesembuhan.
3.
Mencari pengobatan ke
fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional. Untuk masyarakat pedesaan khususnya,
pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan
pengobatan-pengobatan yang lain.
4.
Mencari pengobatan ke
fasilitas-fasilitas pengobatan modern (profesional) yang diadakan oleh
pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan kedalam
balai pengobatan, puskesmas, dan Rumah Sakit termasuk mencari pengobatan ke
fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh doter praktik (private medicine).
Kualitas
jasa pelayanan kesehatan akan sangat ditentukan apabila kebutuhan
atau ekspektasi para
pengguna jasa bisa terpenuhi dan dirterima tepat waktu. Untuk itu, para
penyedia jasa pelayanan kesehatan harus
mampu memenuhi harapan pengguna jasa. Dua hal yang mempengaruhi kualitas jasa
adalah expected services dan perceived services. Jika perceived services sesuai dengan expected services, jasa pelayanan
kesehatan dapat dikatakan berkualitas dan para pengguna jasa pelayanan akan
puas (Muninjaya, 2011)
Pelanggan
adalah sesorang yang secara kontinu dan berulang kali datang ke suatu tempat
yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu produk atau
mendapatkan suatu jasa dan membayar produk atau jasa tersebut (Lupiyoadi, 2013)
Menurut
Sviokla dalam Lupiyoadi, 2013, hubungan antar kualitas dan keuntungan jangka
panjang terlihat dalam dua hal, yaitu faktor keuntungan external yang diperoleh
dari kepuasan pelanggan dan keuntungan internal yang diperoleh dari adanyan
perbaikan efisiensi produk. Keuntungan external yang dimaksud dapat diimplikasikan
dalam proses produksi suatu barang (jasa), yaitu dimana kualitas produk (jasa)
yang diberikan oleh perusahaan dapat menciptakan suatu persepsi positif dari
pelanggan terhadap perusahaan serta menghasilkan suatu kepuasan dan loyalitas
pelanggan. Pasuraman,dkk, dalam Agustini, 2013, mengemukakan bahwa terdapat
hubungan secara lansung antara kualitas dengan minat menggunakan ulang.
Kepuasan
pelanggan adalah tanggapan pelanggan terhadap kesesuaian tingkat kepentingan
atau harapan (expectasi) pelanggan sebelum mereka menerima jasa pelayanan
dengan sesudah pelayanan yang mereka terima (Muninjaya,2011)
Menurut Griffin dalam Agustini,
2013, bahwa loyalitas pelanggan tampaknya merupakan ukuran yang lebih
diandalkan untuk memprediksi pertumbuhan penjualan dan keuangan.
Berbeda dari kepuasan
yang merupakan sikap, loyalitas dapat didefinisikan berdasarkan
prilaku membeli. Pelanggan yang loyal adalah orang yang :
1.
Melakukan pembelian berulang secara
teratur
2.
Membeli antarlini produk dan jasa
3.
Mereferensikan kepada orang lain
4.
Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan
dari pesaing.
Kepuasan pengguna jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi
oleh beberapa faktor (Muninjaya, 2004) :
1.
Pemahaman pengguna jasa tentang jenis
pelayanan yang akan diterimanya. Dalam hal ini, aspek komunikasi memegang
peranan penting karena pelayanan kesehatan adalah high personnel contact.
2.
Empati (sikap peduli) yang ditunjukkan
oleh petugas kesehatan. Sikap ini akan menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan
berpengaruh pada tingkat kepatuhan pasien (complience).
3.
Biaya (cost). Tingginya biaya pelayanan dapat dianggap sebagai sumber moral hazzard bagi pasien dan
keluarganya, “yang penting sembuh” menyebabkan meereka menerima saja jenis
perawatan dan teknologi kedokteran yang ditawarkan oleh petugas kesehatan.
Akibatnya biaya perawatan menjadi mahal. Informasi terbatas yang dimiliki oleh
pihak pasien dan keluarganya tentang perawatan yang diterima dapat menjadi
sumber keluhan pasien. Sistem asuransi kesehatan akan dapat mengatasi masalah
biaya kesehatan.
4.
Penampilan fisik (kerapian) petugas,
kondisi kebersihan dan kenyamanan ruangan (tangibility)
5.
Jaminan keamanan yang ditunjukkan oleh
petugas kesehatan (assurance).
Ketepatan jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter juga termasuk pada faktor
ini.
6.
Keandalan dan keterampilan (reliability) petugas kesehatan dalam
memberikan perawatan.
7.
Kecepatan petugas memberikan tanggapan
terhadap keluhan pasien (responsiveness).
Menurut Sulastomo (2000), dalam Agustini (2013),
faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi keputusan pasien untuk berkunjung
ulang (berobat) ke rumah sakit yaitu sebagai berikut :
1.
Pelayanan dokter (profesional)
2.
Keamanan (tingkat kehilangan HP,
kendaraan dan barang lain)
3.
Lokasi (strategis, mudah dijangkau)
4.
Kebersihan (lantai dan lingkungan rumah
sakit)
5.
Menu makanan (cita rasa makanan pasien)
6.
Waktu tunggu (menunggu dokter dan
menunggu obat)
7.
Parkir (luas dan akses mudah)
8.
Pelayanan IGD (respons pelayanan)
9.
Ketersediaan obat-obatan
10. Jam
buka (waktu kunjungan sebelum dan sesudah jam kantor)
2.6.
Penelitian
Terkait
1.
Eka Octavia Sutrisna (2011), hasil penelitiannya
menunjukkan
bahwa ada
hubungan antara fasilitas fisik (tangibles),
keandalan (realibility), ketanggapan
(responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy) dengan mutu pelayanan Rawat
Jalan terhadap Peserta Askes Sosial di Poliklinik Penyakit Dalam RSMH Palembang
tahun 2011.
2.
Retno Sundari (2012), hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa ada hubungan
antara minat
pasien, norma subjektif, dan pengalaman masa lalu terhadap minat pasien
menggunakan ulang jasa pelayanan rawat jalan di UPT Klinik Kesehatan
Universitas Sriwijaya tahun 2012.
3.
Heni Putri Agustini (2013), hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan antar akses pelayanan, interaksi
petugas dengan pasien, keamanan pelayanan, dan kenyamanan pelayanan terhadap
minat kunjungan ulang di Instalasi Rawat Inap RS Pusri Palembang tahun 2013.
2.7.
Kerangka Teori
Kebanyakan
penilaian para pengguna jasa pelayanan kesehatan lebih mementingkan proses
pelayanan dibandingkan outcome.
Karena itu, menjaga mutu sebuah pelayanan kesehatan akan sangat ditentukan oleh
kemampuan manajemen dan komite medik penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam
menjaga reputasi institusi dan kepercayaan pelanggan terhadap para dokter dan
para medis serta tetap menjaga dan mengasah keterampilan dan profesionalisme
tenaga medis dan paramedisnya sesuai dengan tingkat perkembangan teknologi
kedokteran. Dari uraian tersebut,
Pasuraman, Zeithami dan Berry menganalisis dimensi kualitas jasa berdasarkan
lima aspek komponen mutu (servQual), yaitu: ketanggapan (responsiveness), keandalan (reliability),
jaminan (assurance), empati (empathy), dan berwujud (tangible). Jika kualitas pelayanan yang
diterima pelanggan, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan dengan perilku
pelanggan membeli kembali produk jasa yang ditawarkan.
Berikut ini merupakan diagram dimensi kualitas pelayanan
menurut Pasuraman, dkk seperti pada gambar 2.1 di bawah ini:
Kualitas pelayanan
1.
1. Ketanggapan
2.
2. Keandalan
3.
3. Jaminan
4.
4. Empati
5.
Wujud
|
Kepuasan
pelanggan dan pembelian ulang
|
Gambar
2.1
Kerangka
Teori Penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar